• Redaksi Box
  • Tentang Kami
  • Pedoman Jurnalistik
Kamis, September 25, 2025
Duta Priangan
Advertisement
  • Home
  • Sosial Politik
  • Hukum
  • Ekonomi
  • Pendidikan
  • Seni Budaya
  • Otonomi Daerah
  • Ragam Berita
No Result
View All Result
Duta Priangan
  • Home
  • Sosial Politik
  • Hukum
  • Ekonomi
  • Pendidikan
  • Seni Budaya
  • Otonomi Daerah
  • Ragam Berita
No Result
View All Result
Penggerak Otonomi Daerah
No Result
View All Result
Home Pendidikan

Pola Asuh Pendidikan Sunda

myadmin by myadmin
25 April 2025
in Pendidikan
4
Pola Asuh Pendidikan Sunda
61
SHARES
117
VIEWS
Share on FacebookShare on Whatsapp

Oleh: Bangbang Hermana, S.Pd.,M.Pd

Refleksi makna Hardiknas penting untuk mengevaluasi pendidikan nasional. Setiap tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) sebagai momentum penting untuk merefleksikan perjalanan dunia pendidikan. Hari ini bukan sekadar seremoni, tetapi menjadi ruang evaluasi terhadap sejauh mana pendidikan kita telah mengantarkan generasi muda menjadi manusia yang berilmu, berbudi, dan berdaya saing. Hardiknas juga mengingatkan kita akan visi besar Ki Hadjar Dewantara: pendidikan yang memerdekakan, menyelaraskan pikiran, rasa, dan karsa. Di tengah derasnya arus globalisasi dan perkembangan teknologi, pendidikan nasional dihadapkan pada tantangan baru; yakni menjaga karakter dan jati diri bangsa. Di sinilah pentingnya menggali kembali kearifan lokal sebagai pijakan dalam membangun pendidikan yang kontekstual dan berakar pada budaya sendiri.

Dalam era modern, dunia pendidikan menghadapi berbagai tantangan yang kompleks. Perkembangan teknologi yang begitu cepat memang membawa kemudahan akses informasi dan inovasi dalam pembelajaran, namun di sisi lain juga menimbulkan kesenjangan digital dan ketergantungan pada dunia maya. Globalisasi budaya memperluas cakrawala wawasan generasi muda, tetapi juga berisiko mengikis nilai-nilai lokal yang menjadi akar identitas bangsa. Lebih mengkhawatirkan lagi, krisis karakter mulai tampak dalam bentuk menurunnya rasa hormat terhadap orang tua dan guru, lunturnya etika dalam pergaulan, serta melemahnya semangat gotong-royong dan tanggung jawab sosial. Tantangan-tantangan ini menuntut pendidikan kita untuk tidak hanya fokus pada aspek kognitif semata, tetapi juga memperkuat dimensi afektif dan spiritual melalui pendekatan yang berakar pada budaya dan nilai-nilai kearifan lokal.

Di tengah gempuran zaman yang makin cepat berubah, pola asuh pendidikan Ki Sunda hadir sebagai benteng kultural untuk menjaga jati diri generasi muda. Nilai-nilai kearifan lokal yang diwariskan para karuhun, seperti silih asah, silih asih, silih asuh, menjadi fondasi penting dalam membentuk karakter yang berbudaya, beretika, dan berkepribadian. Di Tasikmalaya, warisan budaya Sunda masih hidup dalam laku harian masyarakat dari cara berbahasa, cara menghormati sepuh, hingga tradisi gotong-royong dan musyawarah. Pola asuh ini mengajarkan pentingnya tata krama, rasa hormat, tanggung jawab, serta keseimbangan antara ilmu dan kehidupan. Dalam konteks pendidikan masa kini, nilai-nilai tersebut tetap relevan untuk menyemai generasi nu cageur, bageur, bener, pinter, jeung luhung, yang bukan hanya cerdas secara akademis tapi juga kuat secara moral dan spiritual.

Berkaca pada tantangan dan peluang yang ada, sudah saatnya kita menggali kembali nilai-nilai pendidikan dari falsafah Sunda yang selama ini menjadi roh dalam kehidupan masyarakat Tasikmalaya. Penulisan esai ini bertujuan untuk menyoroti relevansi pola asuh Ki Sunda sebagai pendekatan pendidikan yang menyeluruh tidak hanya menekankan kecerdasan intelektual, tetapi juga membentuk kepribadian yang santun, berakar pada budaya, dan siap menghadapi dinamika zaman. Dengan memahami dan menghidupkan kembali falsafah pendidikan Sunda, diharapkan generasi muda mampu tumbuh sebagai pribadi yang kuat dalam jati diri, cerdas dalam berpikir, dan bijak dalam bertindak.

Falsafah Sunda mengenal tiga prinsip dasar dalam membangun hubungan antarmanusia, yaitu silih asah, silih asih, silih asuh. Ketiganya merupakan pilar penting dalam pendidikan karakter ala Ki Sunda. Silih asah bermakna saling mengasah kecerdasan dan pengetahuan mengajak setiap individu untuk terus belajar dan berbagi ilmu secara rendah hati. Silih asih berarti saling menyayangi, menanamkan rasa empati, kasih sayang, dan solidaritas sosial dalam kehidupan bersama. Sementara silih asuh mengandung makna saling membimbing dan mengarahkan dengan niat tulus untuk membentuk pribadi yang luhur. Ketiga prinsip ini jika diterapkan dalam pola asuh pendidikan, mampu menciptakan lingkungan belajar yang harmonis dan membentuk anak menjadi manusia paripurna: cerdas, berempati, dan bertanggung jawab.

Ungkapan “ngindung ka waktu, mibapa ka zaman” dalam falsafah Sunda mencerminkan sikap bijak dalam menghadapi perubahan. Di satu sisi, pendidikan harus adaptif terhadap perkembangan zaman mengikuti kemajuan ilmu, teknologi, dan perubahan sosial. Namun di sisi lain, nilai-nilai budaya dan kearifan lokal tidak boleh diabaikan. Prinsip ini menegaskan bahwa menjadi modern tidak berarti meninggalkan akar. Justru dengan berpijak pada akar budaya, generasi muda bisa lebih kuat dalam menghadapi tantangan global. Dalam konteks pola asuh Ki Sunda, falsafah ini menjadi panduan agar pendidikan tetap kontekstual: menghargai tradisi, namun tidak alergi terhadap inovasi. Maka, pendidikan Sunda seharusnya mampu mengharmoniskan antara nilai-nilai karuhun jeung kahirupan kiwari, supaya lahir individu yang cerdas, bijaksana, dan berkarakter.Dalam ajaran Sunda, dua nilai penting yang menjadi dasar pendidikan karakter adalah ajén diri dan tata krama. Ajén diri mengajarkan setiap individu untuk mengenal dan menjaga harga dirinya sebagai manusia yang bermartabat. Sedangkan tata krama menjadi pedoman dalam berinteraksi sosial, bagaimana seseorang bersikap, berbicara, dan bertindak, terutama kepada orang yang lebih tua atau memiliki kedudukan tertentu. Pendidikan yang berlandaskan nilai-nilai ini menanamkan rasa hormat kepada guru, orang tua, dan sesama, serta membentuk tanggung jawab pribadi dan sosial. Lebih dari itu, ajén diri dan tata krama melatih anak untuk memiliki rasa malu jika berbuat salah bukan karena takut dihukum, tetapi karena dorongan kesadaran moral dan hati nurani. Nilai-nilai ini menjadikan pendidikan Sunda sebagai pondasi yang kuat dalam membangun karakter yang santun, beretika, dan berakhlak mulia.

Falsafah pendidikan Sunda memiliki cita-cita luhur yang terangkum dalam lima kata kunci: Cageur, Bageur, Bener, Pinter, Luhung. Ini bukan sekadar slogan, melainkan tujuan ideal dari proses pendidikan yang utuh dan menyeluruh. Cageur berarti sehat, baik secara fisik maupun mental, sebagai syarat dasar untuk belajar dan hidup dengan baik. Bageur berarti baik hati, memiliki budi pekerti luhur, dan menjunjung nilai kebaikan dalam hubungan sosial. Bener mengacu pada kejujuran, integritas, dan kesetiaan pada kebenaran. Pinter melambangkan kecerdasan intelektual dan kemampuan berpikir kritis, sementara Luhung menunjukkan keluhuran sikap dan cita rasa budaya yang tinggi. Kelima nilai ini membentuk pribadi paripurna ala Sunda, yaitu manusia yang tidak hanya cerdas secara akademik, tapi juga kuat secara moral, etika, dan spiritual. Inilah esensi dari pendidikan Ki Sunda: membentuk manusia yang sehat, berbudi, benar, cerdas, dan luhur.Pola asuh Ki Sunda merupakan bentuk pendidikan yang memadukan nilai-nilai tradisi dengan kebutuhan zaman. Di satu sisi, ia berpijak pada akar budaya yang mengajarkan kesantunan, gotong-royong, dan rasa hormat terhadap sesama. Di sisi lain, pola asuh ini juga bersifat lentur dan terbuka terhadap perubahan. Dalam konteks modern, pendekatan ini sangat relevan: anak-anak didorong untuk cakap teknologi dan berpikir kritis, namun tetap berkarakter kuat dan berjiwa sosial.

Pola asuh Ki Sunda tidak kaku, tetapi menekankan keseimbangan antara etika, logika, dan estetika. Dengan cara ini, pendidikan tidak hanya melahirkan individu yang unggul secara akademis, tapi juga bijak dalam menyikapi kehidupan. Inilah kekuatan pola asuh Sunda mewariskan nilai tradisi tanpa menutup diri dari kemajuan modernitas.

Dalam pendidikan Ki Sunda, keluarga, leluhur (karuhun), dan komunitas memiliki peran penting dalam proses pengasuhan anak. Keluarga menjadi tempat pertama dan utama bagi anak untuk belajar nilai-nilai kehidupan. Melalui kebiasaan mendongeng sebelum tidur, orang tua tidak hanya menghibur, tetapi juga menyampaikan pesan moral dan etika secara halus. Nasihat dari orang tua dan kakek-nenek menjadi warisan lisan yang sarat makna. Di luar lingkungan keluarga, masyarakat kampung menciptakan ruang sosial yang mendidik: anak-anak belajar hidup bermasyarakat melalui permainan tradisional, kegiatan gotong-royong, dan interaksi antarwarga yang penuh rasa hormat. Para leluhur meninggalkan nilai luhur yang dijaga dan diwariskan, sementara budaya ngamumule kampung merawat alam, menjaga harmoni, dan menghormati sesepuh menjadi bagian dari pendidikan karakter kolektif. Semua elemen ini bersinergi membentuk generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berakar kuat pada nilai-nilai budaya dan kemanusiaan.

Pendidikan informal dalam budaya Sunda memiliki peran strategis dalam membentuk karakter dan keterampilan sosial anak. Melalui kaulinan barudak (permainan anak), anak-anak belajar banyak hal secara alami dari kerja sama, sportivitas, hingga kecerdasan emosional. Permainan tradisional seperti galah asin, perepet jengkol, atau oray-orayan mengajarkan nilai kebersamaan, kedisiplinan, dan strategi tanpa harus duduk di bangku sekolah. Selain itu, gending kaulinan dan tembang sunda yang biasa dinyanyikan saat bermain atau menjelang tidur, memuat pesan moral, kearifan lokal, dan rasa cinta terhadap alam serta sesama. Warisan budaya ini bukan hanya sarana hiburan, tetapi juga wahana edukatif yang membentuk kepekaan estetika dan spiritual anak. Pendidikan informal ini menjadi pelengkap dari pendidikan formal, membangun kecerdasan holistik yang mencakup akal, rasa, dan hati sejalan dengan falsafah pendidikan Ki Sunda.

Di tengah arus modernisasi, masyarakat Tasikmalaya masih memelihara berbagai bentuk pola asuh tradisional yang berakar kuat pada budaya Sunda. Salah satunya adalah kebiasaan mengajarkan anak membaca Aksara Sunda sejak dini, baik melalui kegiatan keluarga maupun komunitas budaya. Tradisi babacan membaca teks atau naskah Sunda secara lantang masih dijalankan di beberapa pesantren dan sanggar budaya, sebagai cara melatih kefasihan berbahasa dan menumbuhkan rasa cinta terhadap sastra Sunda. Anak-anak juga diajak mengenal tatalu (permainan alat musik pukul tradisional) dan nembang (menyanyikan tembang Sunda), yang bukan hanya melatih kepekaan seni, tetapi juga menyampaikan nilai moral dan filosofi hidup orang Sunda. Pola asuh ini menekankan pada pembelajaran yang menyenangkan, penuh makna, dan berbasis pada kebudayaan lokal. Inilah wujud konkret pendidikan yang menyatu dengan kehidupan sehari-hari, sekaligus menjaga warisan budaya agar tetap hidup di tengah zaman.

Pendidikan formal memiliki peran strategis dalam melestarikan dan mengaktualisasikan nilai-nilai budaya Sunda. Salah satu bentuk nyata integrasi ini adalah melalui kurikulum muatan lokal yang mengajarkan bahasa, aksara, dan sastra Sunda sebagai bagian dari pembelajaran resmi di sekolah. Selain itu, kegiatan ekstrakurikuler seperti karawitan, jaipongan, degung, rampak kendang, dan lain-lain menjadi sarana bagi siswa untuk mengekspresikan kreativitas sekaligus mengenal akar budayanya. Mata pelajaran seni budaya juga memberikan ruang untuk menggali filosofi hidup orang Sunda, seperti gotong-royong, hormat pada guru, serta ajén diri dan tata krama. Melalui pendekatan ini, sekolah tidak hanya menjadi tempat transmisi ilmu pengetahuan modern, tetapi juga ladang tumbuhnya karakter dan identitas budaya. Integrasi ini memperkuat jati diri peserta didik di tengah globalisasi, menjadikan mereka generasi yang cerdas sekaligus berbudaya.

Tantangan dan Peluang: Meski nilai-nilai pendidikan Sunda memiliki kekayaan filosofi dan relevansi yang tinggi, kenyataannya di lapangan masih dihadapkan pada berbagai tantangan. Pergeseran nilai akibat pengaruh budaya luar dan teknologi digital membuat sebagian generasi muda mengalami krisis identitas budaya. Banyak anak-anak dan remaja yang lebih akrab dengan budaya global daripada mengenal akar tradisinya sendiri. Salah satu dampak yang nyata adalah rendahnya minat terhadap baca tulis Aksara Sunda, yang semakin tergeser oleh huruf Latin dan bahasa populer. Selain itu, pendidikan karakter berbasis kearifan lokal kerap tersisih oleh tuntutan kurikulum akademik yang serba cepat dan berorientasi pada capaian nilai. Tanpa adanya strategi yang serius untuk memperkuat kembali jembatan antara pendidikan formal dan warisan budaya, dikhawatirkan generasi masa depan akan tumbuh tanpa fondasi kultural yang kuat.

Peluang: Di tengah berbagai tantangan, terdapat pula peluang besar untuk menghidupkan kembali nilai-nilai pendidikan Sunda. Kebangkitan komunitas budaya lokal menjadi salah satu kekuatan utama dalam merawat warisan leluhur, dengan kegiatan yang semakin terstruktur dan menjangkau berbagai kalangan. Digitalisasi konten lokal juga membuka akses yang lebih luas bagi generasi muda untuk belajar aksara, sastra, dan filosofi Sunda melalui media sosial, aplikasi, serta platform pembelajaran daring. Program-program seperti JELITA (Jendela Literasi Tasikmalaya), Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI), dan Kelas Aksara Sunda menjadi contoh konkret upaya revitalisasi budaya melalui jalur pendidikan, baik formal maupun informal. Inisiatif-inisiatif ini membuktikan bahwa nilai-nilai Ki Sunda tidak hanya relevan, tetapi juga dapat diadaptasi dan dikembangkan dalam konteks kekinian. Dengan sinergi antara masyarakat, sekolah, dan pemerintah, pendidikan yang nyunda dapat menjadi pondasi kuat bagi masa depan yang berkarakter dan berbudaya.

Pelestarian nilai-nilai pendidikan Sunda tidak bisa dilakukan secara parsial. Diperlukan sinergi yang kuat antara lembaga pendidikan, komunitas budaya, orang tua, dan pemerintah. Sekolah sebagai lembaga formal berperan dalam memasukkan muatan lokal ke dalam kurikulum serta menciptakan lingkungan belajar yang mendukung penguatan karakter budaya. Komunitas budaya menjadi ruang kreatif untuk menanamkan nilai-nilai lokal melalui pendekatan yang fleksibel dan kontekstual. Orang tua memegang peran penting sebagai pendidik pertama dan teladan utama dalam kehidupan sehari-hari. Sementara itu, pemerintah bertugas menyediakan kebijakan, dukungan anggaran, dan infrastruktur yang memungkinkan pendidikan berbasis budaya tumbuh dan berkembang. Ketika keempat elemen ini bekerja sama dalam semangat gotong royong, maka upaya membangun generasi yang nyunda berilmu, berbudi, dan berakar pada jati dirinya bukan lagi mimpi, melainkan kenyataan yang bisa diwujudkan bersama.

Penutup: Pendidikan Ki Sunda di Tasikmalaya bukan hanya sekadar pewarisan ilmu pengetahuan, tetapi juga merupakan laku kahirupan praktik hidup yang menyatu dalam keseharian. Nilai-nilai luhur tidak hanya diajarkan secara teori, tetapi diwujudkan dalam tindakan nyata: bagaimana anak bersikap sopan terhadap orang tua, bagaimana warga saling membantu dalam rukun tetangga, hingga bagaimana generasi muda diajak mencintai alam dan kampung halamannya. Dalam pola asuh tradisional Sunda, belajar tidak terbatas di ruang kelas, tetapi berlangsung di dapur, di halaman rumah, di ladang, dan di balai kampung. Semua ruang menjadi sekolah, semua orang menjadi guru. Inilah esensi pendidikan Ki Sunda yang membentuk manusia seutuhnya yang bukan hanya cerdas pikirannya, tetapi juga luhur hatinya dan kuat akar budayanya.

Momentum Hari Pendidikan Nasional sejatinya bukan hanya seremoni tahunan, tetapi menjadi pengingat bahwa arah pendidikan kita tidak boleh tercerabut dari akar budaya sendiri. Di tengah derasnya arus globalisasi, penting untuk menegaskan kembali bahwa pendidikan bukan sekadar transfer ilmu pengetahuan modern, tetapi juga sarana pembentukan karakter dan identitas kultural. Budaya lokal, seperti nilai-nilai Ki Sunda di Tasikmalaya, menyediakan fondasi kuat untuk membangun manusia yang tidak hanya berilmu, tetapi juga berakar. Hardiknas menjadi waktu yang tepat untuk merefleksikan: sudahkah pendidikan yang kita jalankan memerdekakan manusia lahir batin dan menumbuhkan kecintaan pada jati diri bangsa?

Sudah saatnya seluruh elemen masyarakat pendidik, orang tua, pemerintah, komunitas budaya, hingga generasi muda bersatu dalam semangat nyunda. Bukan hanya dalam simbol dan seremonial, tapi nyunda dalam berpikir, yaitu menjunjung tinggi kearifan lokal dalam menyikapi persoalan zaman; nyunda dalam perbuatan, dengan menjadikan nilai-nilai luhur sebagai pedoman dalam bertindak; serta nyunda dalam rasa, yakni memelihara empati, kasih sayang, dan rasa hormat dalam kehidupan bersama. Inilah bentuk konkret dari pendidikan yang membumi dan menyentuh hati: pendidikan yang tidak hanya mencetak generasi cerdas, tetapi juga manusia paripurna yang menghidupi budayanya dengan bangga. Mari jadikan Hardiknas sebagai titik awal gerakan bersama untuk membangun peradaban yang berkarakter, berakar, dan bermartabat melalui pendidikan Ki Sunda.

Harapan kita adalah menjadikan pendidikan Sunda sebagai pilar utama dalam membentuk karakter generasi muda Tasikmalaya yang luhung budi (berbudi pekerti luhur) dan kuat jati diri. Melalui pendidikan yang mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal, seperti yang terkandung dalam ajaran Ki Sunda, kita dapat mencetak generasi yang tidak hanya unggul secara intelektual, tetapi juga tangguh dalam menghadapi tantangan zaman tanpa kehilangan akar budaya. Generasi muda yang dididik dengan nilai-nilai tersebut akan tumbuh menjadi pribadi yang berintegritas, penuh kasih sayang, dan saling menghormati. Dengan sinergi antara lembaga pendidikan, orang tua, komunitas, dan pemerintah, pendidikan Sunda dapat menjadi fondasi yang kokoh dalam membangun masyarakat yang bermartabat dan berbudaya. (red)

(Penulis adalah: Guru, Kepala Sekolah Dasar 4 Periode, Ketua PGRI Kota Tasikmalaya Periode 2015-2020)

Tags: #artikelpolaasuhanaksunda#bangakmal#bangbanghermana#pendidikan#polaasuhanak#polaasuhsunda
Previous Post

Peringatan Hari Otonomi Daerah Ke-29 Tahun 2025 Tingkat Kota Tasikmalaya

Next Post

Gubernur Canangkan Revolusi Pendidikan Jabar, SPMB 2025 Harus Bebas Kegaduhan

Next Post
Gubernur Canangkan Revolusi Pendidikan Jabar, SPMB 2025 Harus Bebas Kegaduhan

Gubernur Canangkan Revolusi Pendidikan Jabar, SPMB 2025 Harus Bebas Kegaduhan

Comments 4

  1. BANGBANG HERMANA, S.Pd., M.Pd. says:
    5 bulan ago

    Di antara dasar-dasar pola asuh atikan Ki Sunda:
    1. Silih asah, silih asih, silih asuh
    2. Miindung ka waku mibapa ka zaman
    3. Nyiar luang ti daluang jeung ti pada urang
    4. Mikul tandu ngangkat luhureun taneuh
    5. Elmu tungtut dunya siar
    6. Cageur, bageur, bener, pinter, singer
    7. Ajen inajen Sunda sejenna

    Balas
  2. Irvan says:
    5 bulan ago

    Tambih hiji deui
    8. Barudak urang Kedah diajar “Hirup Jeung huripna”

    Balas
    • Admin1 says:
      5 bulan ago

      Mantap juga tuh, artinya spiritualisme pun harus ditanamkan sejak dini

      Balas
  3. Ping-balik: Gubernur Canangkan Revolusi Pendidikan Jabar, SPMB 2025 Harus Bebas Kegaduhan – Duta Priangan

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ikuti Kami

Berita Populer

Brigjen Sony Sonjaya Pantau Pelatihan Relawan SPPG di Tasikmalaya
Perhelatan & Peristiwa

Brigjen Sony Sonjaya Pantau Pelatihan Relawan SPPG di Tasikmalaya

by myadmin
28 April 2025
1

Tasikmalaya, Duta Priangan - Direktur Penyediaan dan Penyaluran Wilayah II Badan Gizi Nasional Republik Indonesia, Brigjen Sony Sonjaya, Minggu (27/04/2025)...

Read more
Melalui Konfercab, Iin Indragunawan Terpilih Sebagai Ketua PC PGRI Tawang Kota Tasikmalaya

Melalui Konfercab, Iin Indragunawan Terpilih Sebagai Ketua PC PGRI Tawang Kota Tasikmalaya

29 Agustus 2025
Kadisdik Buka Resmi Workshop Depth Learning Kepala SD Se Wilayah Eks UPT Disdik Kota Taikmalaya Wilayah Barat

Kadisdik Buka Resmi Workshop Depth Learning Kepala SD Se Wilayah Eks UPT Disdik Kota Taikmalaya Wilayah Barat

28 Agustus 2025
Titipan Gelap 11,1 Miliar di Tengah Malam, Dalih SOP Omon Kosong Kuatkan Dugaan Adanya Skandal di Bank BJB Karawang

Titipan Gelap 11,1 Miliar di Tengah Malam, Dalih SOP Omon Kosong Kuatkan Dugaan Adanya Skandal di Bank BJB Karawang

5 September 2025
Kalista Kota Baru Mendapat Bantuan 1000 Judul Buku Berikut 1 Unit Rak Buku Dari Perpusnas RI

Kalista Kota Baru Mendapat Bantuan 1000 Judul Buku Berikut 1 Unit Rak Buku Dari Perpusnas RI

11 September 2025
  • Redaksi Box
  • Tentang Kami
  • Pedoman Jurnalistik
Hotline: 0853-2330-0808 (PIMUM)

© 2019 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegthem by YMProject.

No Result
View All Result
  • Home
  • Sosial Politik
  • Hukum
  • Ekonomi
  • Pendidikan
  • Seni Budaya
  • Otonomi Daerah
  • Ragam Berita

© 2019 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegthem by YMProject.

Login to your account below

Forgotten Password?

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In