Karawang, Duta Priangan – Begitu derasnya respon permasalahan gagal kontrak pembangunan Gedung Maternitas Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Karawang dengan pagu anggaran Rp 18 Miliar, yang bersumber dari dana hibah Bantuan Pemerintah Provinsi (Banprov) Jawa Barat.
Pemerhati politik dan pemerintahan, yang juga selaku advokat, H. Asep Agustian, SH. MH, kembali menyampaikan sikap kritiknya kepada Direktur Utama (Dirut) Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Karawang yang memiliki kapasitas selaku Pengguna Anggaran (PA).
“Di Karawang ini, ada saja hal yang membuat suatu persoalan gaduh. Belum juga selesai kekecewaan masyarakat soal batalnya realisasi bantuan dana hibah Rp 18 miliar dari Pemprov Jabar, Eh setelah adanya rapat dengar pendapat dengan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Karawang, ada pernyataan Dirut RSUD Karawang yang kontradiktif. Segala ngomong Karawang sudah kurang begitu membutuhkan gedung Maternitas lah,” ujar Askun (Sapaan akrab H. Asep Agustian-red).
“Kok jawabannya sudah kayak anak Sekolah Dasar (SD) saja?. Yang namanya anggaran ketika sudah digulirkan, biasanya pihak penerima sudah mempersiapkan segala sesuatunya, termasuk kesiapan waktu untuk merealisasi serapan anggaran. Kalau sudah seperti ini kan jadi raib anggaran dari Pemprov Jabar tersebut,” katanya.
“Jawaban seperti itu tuh, upaya untuk menutupi kelemahannya yang tidak dapat memanfaatkan bantuan dana hibah dari Pemprov, atau gimana? Jadi kalau sudah begini, belum tentu uang sebesar itu, bisa dialokasikan kembali untuk Karawang,” imbuh Askun.
“Terlepas dari itu semua, yang perlu di pastikan, adalah soal Satuan Kerja (Satker) yang menerima dana hibah tersebut, RSUD langsung atau melalui Dinas Kesehatan (Dinkes)?,” tanya Askun.
Masih dipaparkan Askun, “Karena RSUD Karawang merupakan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) yang sudah mandiri, di mana Direktur RSUD bertanggung jawab langsung kepada Bupati. Intinya, di sini ada 2 pihak yang paling berperan, yakni PPK dan PA. Tetapi, PA adalah pihak yg paling bertanggung jawab, bilamana ada permasalahan antara Kelompok Kerja (Pokja) dan PPK yang berakibat PPK tidak menerbitkan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa (SPPBJ). Keputusan final ada di PA. Itu tertuang dalam Pasal 17 Ayat 2 Perpres 54 Tahun 2010 beserta perubahannya,” papar Askun.
“Pokja setelah selesai melaksanakan lelang, kemudian membuat berita acara hasil lelang dan menyerahkan kepada PPK dan Kepala Pokja, PPK dapat menolak hasil lelang karena alasan yang penting dan krusial,” tambah Askun.
“Nah, ini pasca digulirkannya anggaran dari Pemprov Jabar. Apa kah PA tidak mengukur persoalan waktu terlebih dahulu, dan kenapa tidak mereview DED. Kalau memang alasan batalnya kontrak karena faktor keterbatasan waktu serta masih menggunakan DED Tahun 2015. Harusnya kan Dirut selaku PA, mempertimbangkan aspek – aspek tersebut begitu digulirkannya anggaran. Bukan malah langsung tunjuk PPK dan langsung laksanakan lelang, tandas Askun.
“Sehingga akhirnya muncul dugaan dugaan dan spekulasi tertentu. Coba tuh lihat Sosial Media (Sosmed) yang pada akhirnya, banyak pihak menduga kuat, pembatalan kontrak di karenakan, pengusaha yang dekat dengan Bupati kalah. Iya kalau benar, kalau tidak kan kasihan Bupati,” tegas Askun.
“Yang membuat saya tidak habis pikir, ini pejabat model begini kok bisa lolos fit and propertest jadi Dirut? Kalau begini saya jadi ragu dengan kompetensinya. Mending sekalian copot saja dari Jabatan Dirutnya, masih banyak kok pejabat yang kompeten.” pungkasnya. (Jhokun)