Oleh Siti Susanti, S.Pd
Kasus kekerasan yang berujung kematian santri terjadi di sejumlah pondok pesantren Indonesia. Terbaru, terjadi di Pondok Pesantren Darussalam Gontor Ponorogo, Jawa Timur. Di Tangerang, RAP Santri Pondok Pesantren Darul Qur’an Lantaburo, Cipondoh, meninggal dunia diduga akibat dikeroyok pada 27 Agustus lalu. Sebelumnya AH (16), seorang santri di Garut diduga menjadi korban kekerasan oleh teman-temannya sendiri, yang diduga terjadi di dalam pesantren. Kejadian tersebut diketahui berlangsung pada Juli 2022 silam.
Jika sebelumnya peristiwa kekerasan ditemukan di institusi nonpesantren, rupanya kini merambah ke institusi yang notabene kental dengan ajaran agama. Tentu peristiwa ini mencoreng citra pesantren, yang selama ini positif, bahkan menjadi alternatif dalam memilih pendidikan.
Disadari atau tidak, sistem sekuler kapitalistik menjadikan agama hanya digunakan dalam aspek ibadah, sedangkan dijauhkan dalam kehidupan sehari-hari. Akhlak dalam Islam semisal mencintai sesama muslim, larangan menyakiti, saling memaafkan, menjadi jauh dari penerapan, termasuk di pesantren. Jika dicermati, setidaknya terdapat dua penyebab kekerasan marak terjadi bahkan hingga di pesantren.
Pertama, lingkungan yang mendorong terjadi kekerasan. Hal ini bisa didapati di rumah ataupun sekolah/pesantren. Di rumah misalnya dicontohkan orang tua berupa kebiasaan berteriak atau memberi hukuman fisik secara tidak tepat. Di sekolah atau pesantren misalnya berupa hukuman fisik yang diberikan secara tidak tepat atau kegiatan-kegiatan perpeloncoan yang menggunakan hukuman fisik. Ditambah lagi, pembelajaran yang mengutamakan metode hafalan, tanpa membentuk pemahaman. Semua ini menjadikan tindak kekerasan terakumulasi. Jika sudah menjadi budaya, menjadi masalah sistemik bukan kasuistik.Jika sudah begini, butuh solusi sistemik pula. Dan Islam, sebagai agama paripurna, memiliki seperangkat aturan yang memberikan solusi bagi masalah ini. Setidaknya, ada dua hal yang dituntun Islam.
Pertama, dari aspek pendidikan metode belajar dalam Islam adalah talqiyan fikrikan muatsaran, yaitu proses menjadikan ilmu menjadi pemahaman dengan proses berfikir, bukan sekedar dihafalkan. Dengan metode ini, belajar akan berpengaruh ke dalam jiwa, sehingga mendorong untuk diamalkan.
Tujuan pendidikan dalam Islam adalah membentuk kepribadian Islami, yaitu memiliki pola pikir dan pola sikap Islami. Sehingga seluruh proses pendidikan diarahkan ke arah tujuan ini dan seluruh elemen akan diarahkan menuju tujuan ini. Sehingga, kegiatan-kegiatan yang kontraproduktif akan dihapuskan dan dilarang.
Konsep akhlak Islami misalnya, ketika disampaikan dengan metode ini, akan membentuk pemahaman kepada siswa bahwa akhlak adalah bagian dari konsekuensi sebagai muslim, yang tidak boleh ditinggalkan, sehingga akan mendorong untuk berakhlak Islami. Sehingga bukan sekedar mengetahui dan hafal dalil-dalil tentang akhlak.
Keberadaan sanksi dalam proses belajar, sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi SAW, “pukullah jika tidak mengerjakan salat pada usia 10 tahun”, adalah pemberian pukulan mendidik, dan bukan dalam rangka menyakiti.
Kedua, penerapan sanksi dalam Islam bersifat jawabir dan zawajir, yaitu mencegah dan memberi efek jera.
Dalam Islam, didapati pemberian sanksi yang tegas, diantaranya bagaimana dijelaskan dalam surat Al-Baqarah 178-179, yaitu berupa jinâyah ditujukan atas penganiayaan terhadap badan, yang mewajibkan qishash (balasan setimpal) atau diyat (denda). Penganiayaan ini mencakup penganiyaan terhadap jiwa dan anggota tubuh.
Maksud dari jinâyah di sini adalah sanksi-sanksi yang dijatuhkan atas penganiayaan. Dalam sanksi-sanksi ini terdapat hak manusia. Selama berkaitan dengan hak manusia, maka pemilik hak (shâhib al-haq) boleh memberikan ampunan/permaafan (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 178).
Meski terdapat dorongan dan motivasi untuk memberi maaf, namun setiap orang akan berpikir berjuta kali untuk melakukan penganiayaan dan pembunuhan karena ancaman pidananya sangat berat, yaitu qishâsh, atau diyat yang nilainya, sebagaimana riwayat Abdullah bin Amru bin al-Ash, “Untuk pembunuhan seperti sengaja sebesar 100 ekor unta yang 40 ekor adalah unta yang sedang bunting.” Jika diuangkan diyat tersebut dapat mencapai miliaran rupiah.
Sebagian kalangan mengatakan, qishash adalah hukuman yang kejam yang tidak sesuai dengan HAM. Namun justru, dalam qishash terdapat kebaikan, sebagaimana perkataan Imam as-Syaukâni rahimahullah menjelaskan ayat ini dengan menyatakan: “Maknanya adalah kalian memiliki jaminan hidup dalam hukum yang Allah Azza wa Jalla syariatkan ini; karena bila seseorang tahu akan dibunuh secara qishâsh jika ia membunuh orang lain, tentulah ia tidak akan membunuh dan akan menahan diri dari meremehkan pembunuhan serta terjerumus kepadanya.
Dengan pemberian sanksi yang tepat ini, menjamin keadilan, karena berasal dari Zat Maha Adil yaitu Allah SWT. Selain itu, akan efektif membuat jera bagi pelaku untuk berbuat sama di kemudian hari, dan mencegah orang lain untuk melakukan kejahatan serupa.
Oleh karena itu, pencegahan kekerasan termasuk pesantren adalah dengan merevitalisasi sistem pendidikan dan sistem sanksi Islam. Dan untuk ini, dibutuhkan peran seluruh pihak, terutama pemangku kebijakan untuk menegakkannya.
Baca Juga Artikel: Tren Ajang Konten Generasi Muda di Era Digital
“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (Q.S. Al-Ma’idah : 50). (*Red)
(Penulis adalah: Pengajar Bahasa Arab di Lembaga As-Syifa Bandung)
Comments 2