Oleh: Jajang Irwan Sahara, SH
Menjamurnya Base Tranciver Station (BTS) atau yang lebih kita kenal dengan Menara / Tower Telekomunikasi di Indonesia kian hari kian “menghutan”, pesat laju pertumbuhannya bisa jadi mengalahkan perkembangan pohon besar nan rindang penghasil oksigen dijalanan. Berbagai peraturan yang menjadi payung hukum telah diterbitkan, mulai dari Undang-undang, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur bahkan Peraturan Walikota dan Bupati.
Namun regulasi yang ada sepertinya belum mampu untuk mengendalikan keberadaan menara telekomunikasi tersebut, dikarenakan ranah implementasi aturan akan bergantung pada tinggi rendah keseriusan pemerintah beserta sumberdaya manusia yang ada di tatanan pemerintahan itu sendiri.
Khususnya yang terjadi di Kabupaten Tasikmalaya keberadaan menara telekomunikasi ini kerap menimbulkan polemik serta permasalahan ditengah-tengah masyarakat, permasalahan yang paling mencolok adalah permasalahan dari segi perijinannya.
Instrumen pengawasan dan pengendalian (wasdal) berupa regulasi belum sepenuhnya menjadi pedoman, baik oleh perusahaan-penyedia jasa telekomunikasi yang berkepentingan maupun oleh pemerintah itu sendiri, terutama pemerintah daerah kabupaten/kota yang memang sebenarnya sebagai pemegang kendali penegakan aturan yang berkaitan dengan keberadaan menara telekomunikasi di daerah.
Dalam mensikapi permasalahan ini, Lembaga Swadaya Masyarakat Grakan Masyarakat Bawah Indonesia (LSM-GMBI ) DPD Kabupaten Tasikmalaya telah beberapa kali memberitahukan kepada pemerintah terkait temuan adanya menara telekomunikasi ilegal, tapi pemerintah daerah yang sebenarnya memiliki instrumen khusus sebagai APH (Aparat Penegak Hukum), sebut saja SATPOL PP, tidak difungsikan dengan baik sebagimana mestinya. Mereka seolah tak berdaya melihat fenomena pelanggaran terhadap peraturan yang massive terjadi.
Entah apa yang menyumpal mulut, membelenggu kaki serta tangan mereka, sehingga berbagai pelanggaran yang nyata hanya mampu mereka tonton oleh mata dan kepalanya sendiri, tanpa bisa berbuat banyak, lalu untuk apa pajak masyarakat menggaji mereka bila tidak difungsikasn secara optimal.
Selanjutnya dengan hal tersebut terkait bangunan menara telekomunikasi yang berdiri di Kabupaten Tasikmalaya, antaralain di Kampung Sangegeng RT 05 RW 06 Desa Mangunreja Kecamatan Mangunreja Kabupaten Tasikmalaya, dan di Kampung Sindanggalih RT 012 RW 002 Desa Rajadatu Kecamatan Cineam Kabupaten Tasikmalaya, BTS tersebut terindikasi belum mengantongi izin, sedangkan bangunan tersebut sudah berdiri hampir dua Tahun.
Terkait hal itu kami LSM-GMBI sebagai elemen masyarakat kami terpaksa ikut terlibat karna menyangkut equality before the law atau kesamaan hak dimata hukum dan juga rasa keadilan di masyarakat jangan sampai terkesan tebang pilih.
Terutama dalam proses penerbitan izin sebuah usaha yang menyangkut lingkungan hidup. “Agar taat prosedur, syarat, dan kewajiban dengan terbuka kepada public”.
Banyak lagi pertanyaan lain, sehingga suatu kewajaran apabila yang akhirnya pemikiran masyarakat mengarah pada prasangka buruk/negatif tentang dugaan adanya oknum-oknum dari pihak pemerintah, terutama dikalangan stakeholder yang berhubungan dengan proses penerbitan perijinan apabila pemerintah tidak kunjung memperlihatkan ketegasan dalam penegakan aturan. Perubahan paradigma masyarakat akan sangat mudah berubah, dari pandangan negatif menjadi positif, apabila pemerintah dapat menunjukan ketegasannya, terutama kepada perusahaan-perusahaan penyedia jasa telekomunikasi. Pemerintah pun dapat tetap menjaga kewibawannya dimata masyarakat, apabila dapat berlaku adil dalam penegakan peraturan dan perundang-undangan yang ada.
Penulis adalah Praktisi Advokat/Aktivis LSM-GMBI Kabupaten Tasikmalaya.
eddobimbim@gmail.com
Tanyakeun atuh ulah carixing wae
Bila suatu pekerjaan blm ada izin operasi nya baik nya di tutup atau di Segel
Ter lebih pekerja nya di Stop